Senin, 21 Desember 2009

Contoh Pembukaan Ceramah Beserta Artinya
Posted on February 8, 2009 by pcinutaiwan
Berikut ini adalah contoh-contoh mukaddimah (pembukaan) untuk pidato/ ceramah beserta arti yang saya susun sendiri. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan, karena keterbatasan ilmu saya.
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Artinya: Segala puji bagi Allah Sang Penguasa alam semesta. Semoga salawat serta keselamatan tercurahkan selalu kepada Nabi dan Rasul termulia. Berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Artinya: Kami panjatkan segala puji padaNya dan kami meminta pertolonganNya. Seraya memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwaku dan dari kejelekan amaliahku. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah salawat dan salam bagi Muhammad saw berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ. وَنُصَلِّيْ وَنُسَلِّمُ عَلَى خَيْرِ اْلأَنَامِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah memberi sebaik-baik nikmat berupa iman dan islam. Salawat dan doa keselamatanku terlimpahkan selalu kepada Nabi Agung Muhammad Saw berserta keluarga dan para sahabat-sahabat Nabi semuanya
الْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَمَّا بَعْدَهُ
Artinya: Puji syukur kepada Allah dan doa salawaat serta doa keselamatan kepada rasulullah junjungan dan pembimbing kita, Nabi Muhammad bin A
Thu, 31 May 2007 01:05:11 -0700
Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah

Oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qathani


Kita semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi (misalnya masjid Is-Tiqlal
di Jakarta) pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka
benar-benar ahli (Insiyur Teknik Sipil dan Arsitektur) alias berilmu dalam
bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat,kokoh dan awet.
Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan (dokter
mis.) Namun ketika orang-orang ditanya bagaimankah membangun umat Islam ini ?
Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da’i
pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien/agamanya yang akan
dida’wakan atau tidak ? Dan ini adalah musibah Innalillahi wa innalillahi
rojiun..


Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan
manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman
Allah yang artinya :

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan
mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”
(Muhammad :19).

Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni
bab “Ilmu sebelum berkata dan beramal”.

Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu
berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat
dari susunan ayat diatas, yaitu :

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah…”

Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti
perintah beramal, yaitu :

‘…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu…”

Dari taat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal.
Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan. Shahihnya amal karena
shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan tempat tegaknya dalil.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan Rasul atau bisa juga ilmu
yang bukan dari Rasul, yaitu ilmu-ilmu yang diluar masalah diniyah, misalnya
beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan perdagangan.

Seorang da’i tidak dikatakan bijaksana, kecuali bila ia memahami ilmu syar’i.
Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya ia tidak melalui jalur ilmu
ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk dan keberuntungan. Inilah konsensus
orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa pembenci ilmu adalah penyamun dan pelaku
perbuatan iblis dan pengawalnya.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang terpuji, sebagaimana yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, ilmu yang diwariskan para nabi. Rasulullah
bersabda :

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham dan dinar, tetapi mereka
mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, ia sangat beruntung.” (HR Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat, menjadi tiga bahagian, yaitu :

Pertama, ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain,
seperti yang disebutkan adalah Al-Qur’an surat Al Ikhlas.

Kedua, ilmu tentang persoalan-persoalan masa lalu yang dikabarkan Allah;
persoalan-persoalan masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti
yang dikabarkan dalam Al-Qur’an, yaitu ayat-ayat tentang kisah-kisah,
janji-janji, ancaman, surga, neraka, dam sebagainya.

Ketiga, ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan anggota
badan, seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota
badan. Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan
kaidah-kaidah islam. Berawal dari pemahaman ini, tersusunlah pemahaman tentang
ketetapan perbuatan-perbuatan lahiriah, sebagaimana dapat dijumpai dalam
kitab-kitab fiqh yang dimaksudkan untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan lahir.
Hukum-hukum tersebut merupakan dari ilmu dinniyah.

Banyak orang yang masih keliru memahami masalah ilmu. Mereka memahami
Al-Qur’an dan As Sunnah hanya sebatas verbalitas semata, dan tidak memahami
hakekat yang terkandung didalamnya. Betapa banyak orang yang hafal ayat Al-
Qur’an, namun tidak memahami isinya. Perbuatan seperti ini tentu saja bukan
termasuk perbuatan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu
‘Alaihi wa Sallam:

“Perumpamaan orang yang beriman membaca Al Qur’an seperti jeruk sitrun yang
baunya wangi dan rasanya manis. Perumpamaan orang beriman yang tidak membaca
Al-Qur’an seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan orang
munafik yang membaca Al-Qur’an seperti sekuntum bunga yang baunya wangi, tetapi
rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an
seperti labu yang tidak berbau dan rasanya pahit.” (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang mukmin yang tidak hafal huruf-huruf dan surat-surat Al Qur’an lebih
baik dari pada seorang tidak beriman atau munafik yang menghafal Al Qur’an.
Namun seorang mukmin yang berpengetahuan dan bijak-yaitu mukmin yang dikaruniai
ilmu dan iman-jauh lebih baik dari pada mukmin yang tidak berilmu.

Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diendapkan dalam hati, kemudian
diamalkan. Inilah yang juga disebut ilmu bermanfaat, yang nerupakan sandi
terpenting dari hikmah. Ilmu ini akan memberikan kebaikan kepada pemiliknya,
sedangkan ilmu tanpa amal akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat. Oleh
karena itu, Allah memperingatkan kaum beriman yang hanya bisa berbicara tetapi
tidak melakukan apa-apa. Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak
perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang
tiada kamu kerjakan.” (Ash Shaf: 2 - 3)

Allah juga memperingatkan kita agar tidak meyembunyikan ilmu. Kita
diperintahkan untuk menyampaikan ilmu yang merupakan karunia Allah itu sebatas
kemampuan kita. Allah tidak memaksakan seseorang kecuali dalam batas
kemampuannya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan,
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (Al Baqarah:159)

Meskipun ayat diatas ditujukan kepada Ahli Kitab, hukumnya berlaku umum bagi
setiap orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk
kebenaran yang diturunkan Allah. Dengan demikian, jelaslah jalan menunju surga
dan jalan menuju neraka. Orang yang rugi adalah orang yang menyembunyikan
sesuatu yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya. Ia akan dilaknat
Allah dan semua makhluk-Nya, karena dia telah menipu makhluk, merusak
dien/agama, dan menjauhkan diri dari rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang
mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada manusia, akan dimintakan ampun oleh
setiap makhluk, termasuk ikan-ikan dan burung-burung, karena dia telah berbuat
untuk kemaslahatan makhluk, menegakkan dien, dan mendekatkan makhluk kepada
Allah.

Masih dalam kaitan ini , Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

“Orang yang ditanya tentang ilmu, lalu menyembunyikannya (merahasiakannya),
maka kelak pada hari kiamat pada mulutnya akan dipasang kendali dari api
neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Demikianlah, sebuah ilmu dikatakan bermanfaat jika disertai amal. Sehubungan
dengan ini, Sufyan bin Uyainah berkomentar,”manusia paling bodoh adalah yang
membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang mengandalkan
ilmunya, sedangkan manusi paling utama adalah yang takut kepada Allah.”

Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan:

“Wahai orang-orang berilmu, amalkan ilmu kalian, karena orang yang
mengamalkan ilmunya atau orang yang perbuatannya sesuai dengan ilmunya, dialah
mukmin sejati.”

Abu Darda berkata :

“Tidaklah kamu menjadi orang yang berfatwa sebelum kamu berilmu, dan tidaklah
kamu indah dengan berilmu, sebelum kamu beramalkannya.”

Simak pula perkataan seorang penyair:

“Jika ilmu tidak kau amalkan, ia akan menjadi bukti atasmu.

Dan kamu beralasan jika kamu tidak mengetahuinya.

Kalau kamu memperoleh ilmu

Sesungguhnya, setiap perkataan seseorang akan dibenarkan olah perbuatannya.”

Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa ilmu tidak akan menjadi
bagian dari sendi-sendi hikmah kecuali jika disertai amal. Setiap ilmu yang
dipelajari sahabat nabi atau generasi salafus shaleh selalu disertai amal.
Karena itu, segala perkataan, perbuatan, dan gerak-gerik mereka senantiasa
penuh hikmah. Dalam hal ini Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidak ada iri kecuali terhadap dua oang, yakni: orang yang dikaruniai harta
lalu disalurkannya pada jalan yang hak dan orang yang diberi hikmah (ilmu) lalu
dia amalkan dan ajarkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi pernah mendoakan Abdullah bin Abbas r.a. agar ia diberi hikmah da
pemahaman dalam agama. Doa beliau. “Ya Allah, ajarilah ia hikmah.” Dalam lafazh
lain, “Ya Allah ajarilah ia Al Kitab.” Atau “Ya Allah, berilah ia pemahaman
dalam agama.” (HR. Bukhari).




Cara-cara Memperoleh Ilmu

Banyak cara untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Namun yang terpenting
adalah sebagai berikut:

1. Seorang hamba hendaknya meminta ilmu yang bermanfaat kepada Rabb-nya.
Allah telah memerintahkan kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam agar minta
ditambahkan ilmu kepada-Nya. Allah berfirman:

“…Dan katakanlah,’Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (Thaha:114)

salah satu doa beliau adalah:”Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang Engkau
ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku sesuatu yang bermanfaat bagiku, dan
tambahkanlah aku ilmu.”

2. Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu, serta dengan
mengharap ridha Allah. Terlebih dalam menuntut ilmu Al Kitab dan As Sunnah.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah data kepada Abu Hurairah, dan
berkata, “aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya.” Abu
Hurairah menjawab, “cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya.”

Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah
mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang
mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar
kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita
ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi’i mengatakan. “Kamu tidak akan memperoleh
ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh,
memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama.”

3. Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan
faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah berfirman:

“…Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Al Baqarah: 282).

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan kepadamu furqan/pembeda…” (Al Anfal: 29)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan
diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang hak dan yang bathil.

Abdullah bin Abbas berasumsi bahwa seseorang melupakan ilmu karena dosa yang
dilakukannya. Dalam kaitan ini, Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Seorang hakim
hendaknya mempunyai lima sifat, yaitu: faham, sabar, tidak maksiat, tegas dan
menyadari tanggung jawab ilmu.”

Imam Syafi’i pernah mengeluh kepada Waki’ (guru) tentang kesulitannya dalam
menghafal. Kemudian dikata kepada imam Syafi’i bahwa ilmu merupakan cahaya
Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu. Aisyah pernah
mengatakan,”Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu
bertanya tentang agama.”

Sebuah riwayat mengatakan bahwa Ummu Sulaiman pernah bertanya kepada
Rasulullah,”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada yang hak,
apakah wanita wajib mandi jika mimpi?” Nabi menjawab, “Ya, jika melihat air.”

Seorang Mujahid mengatakan,”Orang pemalu dan sombong tidak akan mendapat
ilmu.”

5. Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa belajar suatu ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah,
tetapi dipelajari untuk tujuan keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium
harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Maja)

6. Mengamalkan ilmu. Telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu tidak menjadi
hikmah, kecuali jika diamalkan dengan ikhlas dan berkesinambungan.

——————
Disarikan dari Dakwah islam Dakwah bijak-oleh Said bin Ali bin Wahif Al
Qahthani- Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah GIP 1994 hal. 32-39
(Salafyoon Online)


---------------------------------
The fish are biting.
Get more visitors on your site using Yahoo! Search Marketing.

[Non-text portions of this message have been removed]


[syiar-islam] Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah handri yanto

Kirim email ke